Cara La Patau Membangun Benteng Cenrana

3514

Situs Cenrana Kecamatan Cenrana Kabupaten Bone merupakan peninggalan La Patau Matanna Tikka raja Bone ke-16.

La Patau Matanna Tikka lahir pada Tanggal 3 November 1672 dan Wafat Tanggal 17 September 1714. Ia dilantik menjadi raja Bone ke-16 pada Tanggal 6 April 1696.

Nama lengkapnya adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang Matinroe ri Nagauleng. Dialah yang menjadi raja setelah pamannya La Tenritatta Arung Palakka meninggal dunia.

Dalam pemerintahannnya di Bone, La Patau Matanna Tikka selalu berusaha menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan besar lainnya seperti Luwu dan Gowa.

Dalam menjalin hubungan erat dilakukan melalui perkawinan antar keluarga kerajaan. Olehnya itu dikawinilah putri payung Luwu We Ummu Datu Larompong dari keluarga kerajaan Luwu.

Selain itu untuk menjalin kekeluargaan dengan Gowa ia kawin dengan Sitti Mariama Karaeng Patukangan putri somba dari kerajaan Gowa. Tidak hanya itu,

Ia juga menjalin kekerabatan melalui perkawinan dengan kerajaan sekitarnya seperti kerajaan Mampu dan Soppeng.

Keberhasilan La Patau Matanna Tikka dalam menjalankan misinya itu tergambar dalam pembuatan benteng di Cenrana.

Batu gunung yang digunakan untuk membangun benteng didatangkan dari kerajaan Mampu yang berada di sekitar gunung Mampu saat ini. Hal itu dilakukan karena di daerah Cenrana langka dengan batu yang dibutuhkan.

Proses pengangkatan batu-batu dari kerajaan Mampu menuju Cenrana dilakukan dengan cara berantai (estafet). Ribuan pekerja berjejer sepanjang Mampu-Cenrana.

Mereka para pekerja berdiri setiap lima puluh meter kemudian dioper lagi ke pekerja lainnya. Sehingga para pekerja tidak merasakan beban penat saat mengangkat batu.

Budaya gotong royong ternyata sudah diterapkan La Patau Matanna Tikka sehingga pekerjaan berat akan menjadi ringan.

Pintu gerbang benteng di situs Cenrana sengaja dibangun yang di depannya merupakan jalan yang langsung menuju daerah Mampu setelah menyeberangi sungai Watu.

Sebelumnya di sungai Watu terdapat bendungan (bugis: teppo’) namun telah bobol terbawa arus sehingga di daerah itu disebut rumpa’e (yang bobol).

Menghadapnya pintu gerbang benteng ke arah Mampu menunjukkan pentingnya akses antara Cenrana-Mampu.

Sepanjang jalanan menuju kerajaan Mampu terdapat toponim (nama-nama tempat) seperti Allappungeng (tempat berkumpul), Getteng (menarik), Attang (sebelah selatan), Maralle (daerah antara dua kampung).

Daerah toponim lainnya yaitu Adingnge (semacam pohon yang dapat dimakan buahnya), Turungeng (jalan yang menurun ke sungai), Sijelling (saling melirik), Pattiro Mampu (sudah terlihat daerah mampu).

Pemberian nama-nama daerah toponim tersebut merupakan proses aktivitas dan mobilitas masyarakat yang dipimpin La Patau Matanna Tikka di masa kerajaan Bone yang berpusat di istana Bone Balla Cenrana.