Sejarah Masjid Raya Watampone

1361

Sejarah masyarakat Bone merupakan bagian dari sejarah Sulawesi Selatan yang harus mendapat perhatian untuk dikaji dalam berbagai perspektif, termasuk perspektif arkeologis historis. Karena Bone termasuk sebuah kerajaan besar dan populer di Nusantara yang mencapai puncaknya pada Raja Bone ke-15 Arung Palakka pada abad 17 yang tampil sebagai penguasa di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.

Tinggalan-tinggalan kerajaan Bone sebagai bagian dari sejarah bangsa, dapat dijadikan sebagai objek penelitian arkeologi yang terdapat pada beberapa tempat dan bagian di antaranya Istana/saoraja, benda-pusaka, rumah adat, tiga kompleks besar Makam Sultan/Raja-Raja Bone yaitu: di kompleks Makam Kalokko’e Bukaka, Makam Naga Uleng Cenrana dan Makam Laleng Bata Lamuru, di tambah satu komplek makam-makam Qadhi kerajaan Bone, masjid Tua al-Mujahidin Bone dan masjid Raya Watampone serta mimbar masjid raya yang dibuat di masa raja Bone ke-32 La Mappanyukki yang memerintah tahun 1931-1946 kemudian menjadi Kepala Daerah Tahun 1957-1960.

La Mappanyukki selaku raja Bone ke-32 memiliki peran yang besar dalam pembangunan Masjid Raya Watampone, bahkan namanya terukir dalam inskripsi huruf Arab dalam Bahasa Bugis pada Gapura Mimbar Masjid yang menunjukkan atas perannya yang besar dalam memakmurkan dan membangun masjid pada tahun 1941 dan selesai tahun 1943.

Masjid Raya yang terletak di Jalan Masjid Watampone dibangun oleh La Mappanyukki raja Bone ke-32 yang memerintah dalam tahun 1931-1946. La Mappanyukki dikenal patuh dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 ia mendirikan Masjid Raya Watampone. La Mappanyukki pada waktu itu mengundang pembesar kompeni Belanda yang bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan mesjid tersebut yang kini telah berusia 79 tahun.

Nama lengkapnya adalah “Masjid Al-Jami Al-Ihsan” namun lebih populer dengan nama “Masjid Raya Watampone”. Masjid ini juga memiliki ciri dan ragam hias arsitektur bangunan yang hampir sama dengan masjid-masjid kuno yang ada di Sulawesi, Jawa, Sumatra, Maluku, Kalimantan, dan lain-lain.

Salah satu ciri Masjid Raya Watampone sebagai masjid kuno adalah beratap tumpang dan memiliki Balubu pada ujung atap masjid yang terbuat dari keramik Cina yang konon kabarnya keramik itu berasal dari masa Dinasti Ming.

Hal tersebut bermakna bahwa ragam hias arsitektur Masjid Raya Watampone memiliki kesinambungan budaya di tengah pergulatan dan persebaran Islam di Nusantara yang patut untuk dikenang.

Eksplorasi dan penelitian arkeologis tentang sejarah Masjid Raya Watampone, menjadi penting untuk dilakukan karena di masjid inilah, tergambar karakter pengetahuan muslim tentang arsitektur masjid pada masa itu, serta sejarah dakwah dan pendidikan Islam tumbuh dan berkembang di Kabupaten Bone sampai saat ini.

Sebagaimana diketahui, bahwa Bone duhulu adalah kerajaan besar di Sulawesi Selatan, termasuk salah satu kerajaan Islam Nusantara yang memiliki peran signifikan dalam catatan sejarah tersebarnya Islam di Jazirah Sulawesi pada abad ke-17 yang tak dapat dipungkiri eksistensi dan pengaruhnya dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya.

Keberadaan Masjid yang terletak di pusat kota Watampone ini menjadi penting untuk diangkat guna menggali nilai-nilai akeologis dan seni budaya Islam yang sangat berharga untuk dilestarikan.

Pada kesempatan ini kita akan membahas urgensi dan peranan Masjid Raya Watampone dalam pengembangan dakwah Islam di Bone khususnya dan untuk memperkaya khasanah sejarah budaya Islam Indonesia. Tentunya terutama bagi generasi kaum Muslim Bone harus memahami tentang sejarah arsitektur Masjid Raya Watampone yang telah berumur 72 tahun, sehingga telah memenuhi syarat untuk masuk kategori masjid kuno yang dilindungi dan dilestarikan.

Kemudian menjadikan kompleks Masjid Raya Watampone sebagai bagian data arkeologis sejarah kerajaan Bone yang pantas untuk diperhatikan dan sebagai warisan budaya Bone untuk dilestarikan dan dijadikan sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi Undang-Undang R.I. Nomor 5 Tahun 1995.

Kali ini kita akan mengupasa tentang Inskripsi Arab pada Mimbar dan memahami bentuk ragam hias pada masjid Raya sebagai tinggalan arkeologis kerajaan Bone, serta mengetahui dan mengungkap keterampilan dan seni arsitektur masyarakat muslim Bone pada masa kerajaan Islam. Sehingga dapat menjadi cermin peradaban Islam pada masa yang akan datang serta memahami jejak arkeologi Islam di kerajaan Bone dalam proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.

SEJARAH MASJID RAYA WATAMPONE

Masjid Raya Watampone terletak di Jalan Masjid kota Watampone, Kelurahan Bukaka Kecamatan Tanete Riattang. Masjid ini termasuk kategori masjid tua atau kuno, sesuai dengan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Namun demikian, masjid ini belum dimasukkan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah dan Negara.

Setiap masjid tua yang ada di dunia ini,
memiliki kisah, cerita, dan sejarahnya masing-masing, termasuk masjid Raya Watampone juga memiliki sejarah dan kisahnya tersendiri. Apabila kita bergerak masuk ke dalam masjid maka kita akan melihat inskripsi Arab yang bebahasa Bugis pada gafura mimbar masjid yang bertuliskan sebagai berikut:

“Riwettu La Mappanyukki Sultan Ibrahim,
Eppo Riwakkanna La Parenrengi Arumpone Matinroe ri Ajang Benteng, Nagurusui Pancaitana Besse Kajuara Arumpone Matinroe Rimajanna, Napatettongngi Masigie ri Bone, Ri essona Ahad’e, Uleng Sya’ban Tahun 1304 H/1941 M.”

Inskripsi Arab yang pada dinding gapura, menunjukkan suatu bukti sejarah, bahwa pembangunan masjid raya dibangun tahun 1941 oleh raja Bone ke-32 La Mappanyukki Sultan Ibrahim. Dalam inskripsi belum terdapat gelaran Matinroe ri Gowa. Karena La Mappanyukki masih hidup ketika masjid dan mimbar selesai dibuat.

Dalam inskripsi ini pula di jelaskan tentang keturunan La Mappanyukki yaitu keturunan dari raja Bone sebelumnya raja ke-27 La Parenrengi Matinroe ri Ajang Benteng yang memerintah tahun 1845-1857 dan ratu Bone ke-28 We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Sultanah Ummulhuda Matinroe ri Majennang yang memerintah tahun 1857-1860. Beliau adalah seorang raja perempuan. La Parenrengi dan We Tenriawaru sebagai pasangan suami-isteri.

Diperoleh informasi dari Hj. St. Hadijah Abbas, mengatakan, bahwa tanah yang ditempati oleh Masjid Raya Watampone sekarang ini adalah tanah waqaf yang diserahkan dari pemiliknya yang bernama “NUSU” dengan luas 80 are, untuk dibangun sebuah masjid. Pemberian tanah tersebut disaksikan oleh raja Bone La Mappanyukki Sultan Ibrahim.

NUSU adalah salah seorang pejuang Bone dan memperoleh jabatan “Petoro” yaitu komandan dalam pembangunan jalan “Sumpallabbu” jalan dari Bone ke Makassar yang terletak di kecamatan Bengo Kabupaten Bone. Ditambahkan juga oleh Hj. St. Hadijah yang masih cucu dari “Nusu” bahwa yang pernah menjabat sebagai imam-imam salat di Masjid Raya Watampone yaitu:

1. KH. Abd.Jabbar,
2. H. Andi Poke, dan
3. KH. Junaid Sulaeman.
Sesudahnya itu terdapat beberapa imam-imam yang bertugas secara bergantian.

Senada yang pernah diungkapkan oleh AG. KH. Abd. Latif Amin, menjelaskan, bahwa pembangunan Masjid Raya Watampone dipelopori oleh Raja Bone La Mappanyukki Sultan Ibrahim. Ia menjelaskan salah satu cara yang ditempuhnya adalah mengumpulkan para kepala-kepala distrik kerajaan Bone, untuk berpartisipasi mengambil bagian untuk menyelesaikan pembangunan masjid Raya.

Misalnya distrik Barebbo yang menjamin seluruh kebutuhan kayu bangunan untuk berdirinya masjid, sehingga semua kepala distrik mengambil peran sampai masjid selesai dibangun dan untuk semennya mendapat bantuan kompeni Belanda.

Menurutnya, arsitek Masjid Raya Watampone ini adalah Orang Cina, bahkan dalam proses pembangunan, batu yang dipakai untuk dipasang pada bangunan masjid, harus terlebih dahulu dicuci sebagai bentuk penyucian terhadap masjid, atau disucikan lebih dahulu baru dipasang. Sedangkan pembuatan mimbar masjid dibuat di luar daerah Bone.

KH. Abd. Latif juga mengungkapkan beberapa hal yang dilakukan oleh Raja Bone berkaitan dengan Masjid Raya, di antaranya yaitu:

” Bahwa ketika La Mappanyukki masuk masjid untuk melakukan salat, beliau berjalan melalui arah depan (bagian timur) masuk bersama rombongan dan pengawalnya, berdasar pada garis merah pada lantai keramik masjid”.

“Kemudian jamaah masjid tidak diperbolehkan melewati batas garis merah pada lantai, sebelum raja Bone duduk di tempatnya, yaitu di samping kiri mimbar”.

” Sementara para anggota Ade’ Pitu posisi duduknya sebelah kanan mimbar, dan sesekali La Mappanyukki melirik dan melihat siapa-siapa anggota Ade’ Pitu yang hadir di masjid pada waktu salat Jum’at maupun salat fardhu”.

Adapun yang pernah menjadi imam di
Masjid Raya juga dikisahkan oleh KH. Abd. Latif, yaitu; imam masjid pertama sekaligus sebagai Imam Bone yaitu:
1. KH. Abd. Jabbar seorang Hafiz Alquran (penghapal Al-quran) dipilih langsung oleh raja Bone La Mappanyukki, dan
2. H. Andi Poke juga dipilih langsung oleh La Mappanyuki setelah diseleksi di hadapan para Ulama Bone.

“Hal ini menunjukkan bahwa La Mappanyukki memiliki peran besar dalam membangun masjid raya dan memakmurkannya”

Selanjutnya Hamzah Junaid pernah mengungkapkan, bahwa KH. Muh.
Junaid Sulaeman juga berperan besar dalam membangun pendidikan dan panti asuhan di Masjid Raya Watampone. Hal itu ditandai dengan membuat pengajian TUDANG (duduk) bagi masyarakat dan santri panti asuhan yaitu pada tanggal 17 Agustus 1966.

Hal tersebut tertulis dalam akta notaris pada yayasan yang dibentuk oleh KH. Junaid Sulaeman, dengan nama yayasan “Yayasan Syiar Islam disingkat YASLAM yang terdaftar pada Notaris Amiruddin Alie, S.H. Kantor Jalan Makmur Nomor 11Watampone pada tanggal 6 Desember 1983.

Dengan susunan pengurus sebagai berikut :
Ketua umum: KH. Junaid Sulaeman
Ketua I : H. Muh. Darwis dan H. Rakka
Sekretaris: Abd. Aziz Ridwan, dan
Bendahara: Abu Ubaedah.

Atas dasar yayasan Yaslam, pengurus membangun beberapa sarana yaitu:
1. Madrasah Diniyah/Al-Mahmudiyah
2. Raudatul Athfal,
3. Balai Kesehatan,
4. Panti Asuhan, dan
5. Kegiatan Pengajian Tudang di Masjid Raya.

Bapak Hamzah Junaid juga menambahkan bahwa nama Masjid Raya sebagaimana tertulis pada gapura pagar masjid yaitu ” MASJID JAMIUL AL-IHSAN ” nama ini diberikan oleh sang kaligrafer Syekh Abd. Aziz al-Bah.

Dilihat dari tulisan kaligrafi yang ada dalam masjid Raya sebagai hiasan yang mengelilingi dinding masjid, menunjukkan suatu catatan sejarah, bahwa seseorang berkebangsaan Arab Mesir pernah bermukim di Bone selama beberapa tahun dan menulis kaligrafi Arab di masjid Raya dengan tulisan yang indah dengan
menggunakan khat sulus dan diwany. Hal ini terlihat pada akhir tulisannya, terbaca bahwa kaligrafi ini ditulis oleh Syekh Abd. Aziz Al-Bah pada tahun 1973-1974.

Hal tersebut dapat diketahui dari tahun penulisan yang tertera pada dinding masjid pada bagian serambi besar belakang. Bahkan murid-murid Syekh Abd. Aziz Al-Bah di Bone masih masih yang hidup hingga saat ini.

Dengan demikian, bahwa terdapat beberapa orang yang berjasa dalam membangun dan mengembangkan masjid Raya yaitu dimulai dari sang pemberi wakaf tanah adalah Nusu, kemudian dibangun oleh Raja Bone ke-32 La
Mappanyukki Sultan Ibrahim, kemudian masjid ini dipimpin oleh 3 (orang) imam-imam yang alim ulama yang terkenal sampai hari ini.

Kemudian Syekh Abd. Aziz Al-Bah, juga sangat berperan besar untuk mendekorasi masjid raya dengan ragam hias kaligrafi Arab dari teks-teks ayat-ayat al-Quran, Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW maupun kata-kata hikmah ulama.

MAKNA INSKRIPSI HURUF ARAB PADA MIMBAR MASJID

Salah satu keunikan dan keistimewaan Masjid Raya Watampone adalah memiliki mimbar yang indah, bernilai seni yang tinggi, bentuknya besar, berhias, dan memiliki inskripsi huruf Arab yang berbahasa Bugis. Inskripsi itu berisi petunjuk tentang pembangunan Masjid Raya, sehingga nilai sejarah yang terkandung di dalamnya tak berbantahkan (tenrisumpala). Itulah kelebihan mimbar masjid raya Watampone yang tidak dimiliki oleh masjid tua/kuno lainnya di Sulawesi Selatan.

Inskripsi adalah suatu seni tulis atau ukir pada suatu tempat selain kertas, yaitu batu, logam, besi, atau kayu. Sehingga posisi inskripsi sebagai data sejarah dianggap sangat kuat eksistensinya bagi kalangan arkeolog.

Inskripsi Arab yang ada di gapura mimbar masjid raya adalah suatu data sejarah yang sangat kuat untuk mengungkap keberadaan Masjid Raya Watampone, sebagai masjid bersejarah di Kabupaten Bone.

Adapun inskripsi huruf Arab yang ada di masjid Raya, Masjid Tua, dan Bola Sukki/Subbi sebagai berikut:

“Riwettu La Mappanyukki Sultan Ibrahim, Eppo Riwakkanna La Parenrengi Arumpone Matinroe Riajang Benteng, Nagurusui Pancaitana Besse Kajuara Arumpone Matinroe Rimajanna, Napatettongngi Masigie Ri Bone, Ri essona ahad’e, Uleng Sya’ban Tahun 1304 H / 1941 M.”

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka artinya sebagai berikut:

” ketika La Mappanyukki Sultan Ibrahim, Cucu kandung La Parenrengi Raja Bone yang mangkat di sebelah barat Benteng, bersama Paincaitana Besse Kajuara Raja Bone yang mangkat di Majanna, beliau (La Mappanyukki) membangun masjid ini di Bone pada hari Ahad, bulan Sya’ban tahun 1304 H/1941 M.

Dengan demikian, terdapat beberapa kandungan makna dan interpretasi dalam
inskripsi tersebut di atas, di antaranya yaitu:

“bahwa inskripsi ini menggunakan huruf Arab tetapi isinya adalah bahasa Bugis, atau diistilahkan dengan huruf serang bagi kalangan ahli filologi”. Karena huruf seperti tersebar di Nusantara dalam bentuk manuskrif-manuskrif kuno. Sedangkan media yang digunakan adalah berasal dari pahatan kayu.

Dalam materi inskripsi juga menjelaskan bahwa La Mappanyukki dengan gelar Islamnya Sultan Ibrahim sebagai raja Bone, yang membangun masjid Raya sebagai interpretasi dari kata Nappatettongngi artinya “dibangun oleh”, atau atas perintah La Mappanyukki, masjid Raya didirikan. Karena saat itu beliau sebagai raja Bone ke-32, dalam masa pemerintahannya di Bone pada tahun 1931-1946.

Kandungan pesan makna inskripsi yang
lain yaitu menjelaskan bahwa La Mappanyukki adalah cucu kandung dari raja Bone ke-27 La Parenrengi yang mangkat ri Ajang Benteng dan cucu dari ratu Bone ke-28 We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Matinroe ri Majennang.

Di mana raja Bone ke-27 dan ke-28 tersebut adalah pasangan suami isteri. Sebab ketika La Parenrengi mangkat, maka Ade Pitu’e di Bone sepakat mengangkat permaisurinya We Tenriawaru Paincaitana Besse Kajuara sebagai raja Bone ke-28.

Inskripsi Arab yang terletak pada diding gapura juga mengandung suatu bukti sejarah, bahwa pembangunan masjid raya dan mimbar adalah dibangun secara bersamaan, dibangun oleh raja Bone La Mappanyukki Sultan Ibrahim.

Dalam inskripsi tersebut juga, nama La
Mappanyukki belum memakai gelaran Matinroe ri Gowa yang berarti mangkat di Gowa, ini bermakna bahwa La Mappanyukki benar-benar masih hidup ketika mimbar dan masjid raya Watampone dibangun.

Inskripsi Arab di atas juga menunjukkan, bahwa di Bone telah berkembang pada saat itu seni kaligrafi Arab dari pahatan kayu, karena selain inskripsi mimbar masjid raya, juga terdapat inskripsi Arab pada tempat yang lain yaitu:
1. inskripsi ayat Al-Quran pada mimbar masjid Tua al-Mujahidin Watampone, dan
2. inskripsi Arab pada dinding “Bola Sukki/Subbi” yang terletak di Jalan Merdeka Watampone, saat ini berfungsi sebagai kantor Perpustakaan daerah.

Hal ini menjelaskan tentang adanya relasi
inskripsi yang sangat kuat dikalangan para
seniman kala itu di kota Watampone.

Inskripsi dalam bentuk aslinya menggunakan huruf Arab yang terbuat dari pahatan kayu yang berbahasa Bugis, sebagaimana pada gambar foto berikut ini:

KANDUNGAN MAKNA RAGAM HIAS AYAT-AYAT AL-QURAN

Jumlah ayat-ayat dalam ragam hias masjid Raya yaitu: sebanyak 32 ayat Al-Quran yang terdiri dari beberapa surah tertentu yaitu:
* QS. Al-baqarah sebanyak 7 ayat,
* Qs. Ali Imram sebanyak 1 ayat,
* Qs. Al-Nur sebanyak 1 ayat,
* Qs. Yunus sebanyak 2 ayat,
* Qs. Al-Ahzab sebanyak 2 ayat
* Qs. Al-mukminun sebanyak 2 ayat,
* Qs. Al-naml sebanyak 1 ayat,
* Qs. Al-Syu’ara’ sebanyak 2 ayat, dan
* Qs. Al-Ikhlas, sebanyak 4 ayat.

Adapun kandungan-kandungan ayat secara umum yang dipilih sebagai ragam hias kaligrafi Masjid Raya Watampone yaitu di antaranya ayat-ayat yang membicarakan tentang orang yang memakmurkan masjid akan menjadi orang-orang yang beruntung. Tema ini menjadi isyarat dan seruan kepada kaum muslimin untuk senatiasa memakmurkan masjid, sehingga ayat ini diletakkan bagian depan dekat mihrab.

Kemudian ayat berikutnya dengan tema arah kiblat dalam salat. Selanjutnya adalah
tentang salat, yaitu bahwa kehidupan, kematian dan jiwa raga manusia semuanya adalah milik Allah SWT.

Kemudian disambung dengan tema waktu salat dan perintah untuk senantiasa
mengingat Allah SWT dan perintah untuk
bersyukur dan tidak mengingkari Allah SWT.

Lalu dilanjutkan dengan tema tentang
takwa, terdapat beberapa ayat yang yang
membahas keutamaan takwa, di antaranya yaitu: orang-orang yang bertakwa kepada Allah maka akan mendapat kegembiraan di dunia dan di akhirat, barangsiapa bertakwa maka Allah akan memberi pahala yang berganda.

Tema-tema tulisan kaligrafi ayat-ayat Al-Quran juga membahas tentang doa-doa untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat, doa mensyukuri nikmat dan beramal saleh, doa meminta ampunan kepada Allah dan diwafatkan bersama orang-orang yang baik, kemudian tentang perintah salawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta ciri-ciri orang mukmin sebagai termaktub dalam QS. Al-Mukminun; 1-11.

Kemudian tema ayat juga secara khusus
membahas satu surah yaitu surah Al-Ikhlas; 1-4. Hal ini menunjukkan bahwa aspek aqidah dan ketauhidan adalah sangat urgen untuk ditampilkan dan diketahui bersama.

Tema terakhir adalah ayat-ayat tentang
berbuat kebaikan di antaranya bahwa setiap kebaikan yang dikerjakan akan diketahui oleh Allah, dan ayat tentang perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah seperti satu biji yang menumbuhkan 10 tangkai, setiap 1 tangkai akan tumbuh 100 biji.

Kemudian ayat tentang hari kiamat nanti, bahwa harta dan anak tidak lagi bermanfaat kecuali hati tenang dan amal ibadah dan kebaikan yang dikerjakan. Tema terakhir ini diletakkan pada bagian serambi belakang, berdampingan dengan nama-nama pengurus masjid Raya pada waktu penulisan kaligrafi ini tahun 1973-1974 M.

Hal ini menunjukkan sebagai isyarat doa penulis kaligrafi (Syekh al-Bah) kepada orang-orang yang telah mewakafkan hartanya di masjid Raya dan di jalan Allah lainnya. Amin, Wa Allah a’lam Bi al-Sawab.

KANDUNGAN MAKNA RAGAM HIAS HADIS NABI MUHAMMAD SAW

Ragam hias hadis Nabi SAW yang ditulis
oleh Syekh Abd. Aziz Al-bah berjumlah 29 hadis. Terdapat beberapa tema hadis yang diangkat, di antaranya yaitu:

“pada bagian mihArab imam, tema hadis yaitu keutamaan lafaz tahlil La ilaha illa Allah, yaitu Harta simpanan surga adalah ucapan tahlil, kemudian hadis tentang kebersihan yang merupakan bagian dari iman. Penulis (Syekh Abd.Aziz Al-Bah) memberikan isyarat akan pentingnya kebersihan yang dibarengi dengan lafaz tauhid”.

Tema berikutnya yaitu: Hadis tentang kelebihan membaca tahmid, tasbih, shalat, sadaqah, sifat sabar, dan Al-Quran, membaca tahmid al-hamdulillah, akan memenuhi timbangan di hari kiamat, membaca tasbih dan hamdalah, pahalanya akan memenuhi antara langit dan bumi, melaksanakn shalat akan menjadi cahaya baginya, dan orang senanantiasa bersedaqah akan menjadi petunjuk, sifat sabar akan menjadi lampu, dan Alqur’an akan menjadi argumentasi bagi orang mempercayainya dan menjadi tantangan bagi yang tak menerimanya.

Kemudian tema tentang keistimewaan orang membaca Al-q)Quran dan orang kaya yang menafkahkan hartanya. Berikutnya tentang hadis al-asma’ al-husna, siapa yang menghafalnya maka akan masuk surga, ditambah beberapa tema doa-doa yang masyhur yaitu: Doa sayyidul istigfar, dan doa sapujagad meminta kebaikan dunia akhirat. Karena doa ini adalah doa yang selalu dibaca oleh Rasulullah SAW.

Berikutnya ragam hias hadis Nabi SAW
yang ditulis pada bagian serambi besar belakang, adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

“Seandainya manusia mengetahui apa (kebaikan) yang terdapat pada adzan dan shaf awal, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, niscaya mereka akan melakukannya. Sampai di sini hadis ini, tidak dsempurnakan sampai selesai. Dalam riwayat Bukhari, hadis tersebut disambung dengan arti sebagai berikut:

“Dan seandainya mereka mengetahui kebaikan yang terdapat dalam bersegera (menuju shalat), niscaya mereka akan berlomba-lomba. Dan seandainya mereka mengetahui kebaikan yang terdapat pada salat Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.”

Kandungan makna hadis berikutnya adalah tentang orang yang meminta mati syahid dengan sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikannya meskipun ia meninggal di atastikarnya. Ditambah lagi dengan hadis tentang doa masuk masjid dan yang berada di atas pintu masuk. Kemudian hadis tentang kebiasaan nabi berpuasa pada hari Senin dan Kamis.

Penulis kaligrafi juga menulis dan memilih hadis nabi tentang jaminan Nabi Muhammad SAW terhadap orang yang mengurusi anak yatim dengan balasan masuk surga, hadis tentang orang yang dermawan kepada fakir miskin digambarkan seperti seorang mujahid fi sabilillah. Hal ini bermakna akan pentingnya kandungan hadis ini untuk diamalkan.

Berikutnya hadis Nabi Muhammad SAW tentang makanan yang terjelek adalah makanan acara walimah yang dimakan oleh orang kaya, tetapi orang miskin diabaikan.

Berikutnya ragam hias kaligrafi hadis tentang kedudukan seorang muslim dengan sesama muslim lainnya adalah bersaudara, tidak boleh saling menzalimi, menyakiti, bahkan harus menolong dan menghilangkan kesusahannya, serta menutup aibnya. Maka Allah juga akan menolongnya dan menutup aibnya juga di hari kiamat.

Tema berikutnya adalah hadis tentang
Allah tertawa kepada tiga kelompok manusia yaitu: seorang manusia yang bangun tengah malam salat tahajjud, sekelompok orang yang bersaf-saf secara rapi siap menunaikan salat, dan sekelompok orang yang bersaf-saf siap
berperang dijalan Allah.

Ragam hias hadis yang ditulis berikutnya mengandung makna keutamaan bagi setiap orang muslim yang senantiasa salat sunnat 12 (dua belas) rakaat setiap hari, maka Allah akan membangunkan baginya rumah di surga. Suatu pelajaran hadis yang sangat berharga.

Kemudian ragam hias hadis masih disambung pada bagian belakang serambi dengan kandungan makna yaitu:

“bahwa ada sesorang yang datang meminta kepada Nabi Muhammad SAW amal-amal apa sampai masuk surga, nabi bersabda: Jangan menyerikatkan Allah, dirikan shalat, keluarkan zakat, dan hendaklah senantiasa menyambung tali silaturahim.

Kemudian ragam hias hadis tentang tata
cara makan yaitu dalam riwayat imam Bukahri: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian makan, maka janganlah ia mengelap tangannya hingga ia menjilatinya.” Kandungan hadis ini bermakna larangan mubazir ketika makan, sehingga tanganpun harus dibersihkan dari sisa makanan yang masih melekat di jari-jari.

Berikutnya ragam hias hadis yang ditulis pada bagian harem masjid dengan model bulatan yang dihiasi dengan nama-nama sahabat nabi pada pinggir lingkaran yaitu: hadis tentang Allah akan memperelok seorang yang mendengarkan ucapan nabi lalu menyadari dan mengamalkan sebagaimana yang didengar dari Nabi SAW. Hal ini mengandung makna bahwa, sahabat-sahabat Nabi SAW adalah generasi pertama menyiarkan dan menyampaikan hadis-hadis SAW kepada kaum muslimin, sehingga hal ini menjadi isyarat dari kaligrafer dalam penataan ragam hias.

Kandungan tema lain dari ragam hias hadis pada bagian serambi belakang adalah tentang kematian yaitu ada 3 hadis yaitu:
1). Hadis tentang mayit seorang muslim yang disalati oleh 40 orang, maka Allah akan memberi syafaat bagi si mayyit.
2). Jiwa atau nyawa manusia yang telah meninggal itu, akan tergantung terombang-ambing karena utangnya, sampai selesai dilunasi oleh keluarganya yang ditinggalkan.

3). Hadis; Apabila jenazah sudah diangkat dipundak/ditandu, maka apabila jenazah
orang yang saleh, maka ia berkata majulah!, tetapi jika jenazahnya orang yang tidak shaleh, maka ia berkata kepada keluarganya celaka, kemana engkau pergi, dan seruannya itu didengarkan oleh setiap sesuatu kecuali manusia. Karena sekiranya manusia mendengar seruan itu, maka ia akan jatuh pingsan.

Kandungan makna hadis berikutnya yang dijadikan ragam hias masjid Raya adalah
tentang calon pengantin adalah Riwayat imam Bukhari yaitu: Asma berkata, seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katanya; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya puteriku menderita penyakit gatal (cacar) hingga rambutnya rontok, sementara saya hendak menikahkannya, apakah saya boleh menyambung rambutnya?
Beliau bersabda: “Sesungguhnya
Allah melaknat orang yang menyambung
rambutnya dan yang minta disambung”.

Kemudian kandungan hadis tentang
kebersihan yaitu: larangan memegang kemaluan tangan kanan, dan larangan beristinja dengan tangan kanan.

Berikutnya pada bagian dinding yang hadis Nabi SAW disambung suatu riwayat hadis dari Abu Daud:

Beliau bersabda: “Apabila kamu berada dipagi dan sore hari maka ucapkanlah: “allaahumma inni a’uzu bika min al-hammi wa al-hazan wa a’udzu bika min al-‘ajzi wa al-kasali, wa a’udzu bika min al-jubni wa al-bukhli wa a’udzu bika min ghalabati al-ddaini wa qahri al-rijai (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kegundahan dan kesedihan dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil dan aku berlindung kepada-Mu dari terlilit hutang dan pemaksaan dari orang lain).
Kaligrafer hanya menulis doa Nabi SAW yang tersebut di atas, tidak menulis asbab wurud hadis.

Kandungan makna hadis berikutnya sebagai ragam hias adalah kelebihan orang yang bertaubat dan langkah orang-orang yang diampuni dosanya oleh Allah SWT yaitu:
1) Hadis tentang bahwa orang yang telah taubat dengan sebenar-benarnya, seperti orang yang tak berdosa lagi.
2) Hadis tentang pahala orang yang memperbaiki wudhunya lalu datang salat Jumat dengan tenang, lalu mendengar khutbah dengan tenang, maka Allah akan ampuninya. 3) Nabi bersabda: “Maukah kalian untuk aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?”

Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu pada sesuatu yang dibenci (seperti keadaan yang sangat dingin), banyak berjalan ke masjid, dan menunggu salat berikutnya setelah salat.
Maka itulah ribath”. Diakhir tulisan hadis ini, ditambahkan oleh kaligrafer Syekh al-Bah dengan kalimat “shadaqah Rasulullah” artinya Rasulullah telah benar dalam ucapannya.

Dengan demikian, deskripsi kandungan
makna hadis yang dikutip, diseleksi dan ditulis oleh sang kaligrafer, tentunya memiliki latar belakang orientasi pemikiran dan gagasan berupa pesan yang akan disampaikan, yang disertai pertimbangan dan penyesuaian dengan kondisi tata letak dinding masjid dan kondisi jamaah kaum muslimin di Masjid Raya Watampone khususnya, dan umat Islam umumnya.

TERAKHIR

Terdapat beberapa kesimpulan yaitu;
1) Masjid ini dibangun pada tahun 1940 M, oleh Raja Bone ke-32 dan ke-34 La Mappanyukki Sultan Ibrahim bersama para kepala distrik di Bone, yang berasal dari tanah wakaf milik Nusu, denahnya empat persegi panjang.
2) Makna kandungan inskripsi huruf Arab pada mimbar Masjid RayaWatampone menjelaskan bahwa La Mappanyukki dengan gelar Islam Sultan Ibrahim sebagai raja Bone, yang membangun Masjid Raya sebagai interpretasi dari kata Nappatettongngiartinya “dibangun oleh”, atau atas perintah La Mappanyukki sehingga masjid Raya didirikan. Di mana saat itu beliau sebagai raja Bone ke-32 pada tahun 1931-1946.
3) Model dan ragam hias MasjidRaya Watampone yaitu terdapat beberapa
gagasan arkeologi yang ditemukan yaitu: bahwa model jendela luar sebagai pentilasi terbuka adalah model lengkungan tapak kuda, model ini sangat familiar dalam pembangunan masjiddiTimur Tengah, kemudian model atau jenis huruf kaligrafi yang di gunakan oleh kaligrafer adalah khat sulus dan diwaniy, khat sulus lebih banyak digunakan dari khat diwaniy.

Adapun materi-materi tulisan yaitu:
a) ayat-ayat Al-Quranyang telah dipilih oleh penulis,
b). hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang telah dipilih secara khusus dan spesifik,
c) kata-kata hikmah yang secara khusus
dipilih.
d) asmaul husna berjumlah 99, namun
sebahagian tertutup oleh dinding kedap suara. e). nama-nama nabi dan rasul yang berjumlah 25 nama.
f). nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal.
g). nama-nama gelaran Nabi Muhammad Muhammaf SAW.

REFERENSI:

1. Ali, Andi Muhammad, 1986. Bone Selayang Pandang, t.c., t.p: Watampone.

2. Ambary, Hasan Muarif, 2001. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. II; PT. Logos Wacana Ilmu: Jakarta.

3. Andaya, Leonard Y, 2006. The Heritage of Arung Palakka: History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17, (Cet. II, Ininnawa: Makassar)

4. Candrasasmita, Uka, 2000. Penelitian Arkeologi Islam, Cet. I, Menara Kudus: Jakarta.

5. Crowther, Jonathan, (ed.), t.t. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Fifth Edition, Oxford University Press.

6. Johan, Irmawati Marwoto, 2009. Peran Arkeologi dalam Kajian Islam Nusantara,(makalah disampaikan pada Diklat Arekeologi Keagamaan, Jakarta.

7. Mujib, 2009. Kaligrafi Arab di Indonesia, sejarah perkembangan dan penelitiannya, Makalah.

8. Mundarjito, 2009. Pengantar Arkeologi, Makalah dipresentasikan pada Diklat PenelitianArkeologi, tanggal 28 Nopember: Jakarta.

9. Andi Palloge Petta Nabba, 2006. Sejarah kerajaan Tanah Bone (Masa Raja Pertama dan Raja-Raja Kemudiannya Sebelum Masuknya Islam Sampai Terakhir), Cet. I, Penerbit Yayasan Al-Muallim: Sungguminasa KabupatenGowa.

10. Program Hadis Lidwa 9 Imam.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2008. Metode Penelitian Arkeologi, Cet. II, Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional, Jakarta.
11. Daftar Raja-Raja Bone Website www.telukbone.id
12. Bupati Bone dari Masa ke Masa Website Resmi Pemerintah Kabupaten Bone www.bone.go.id

(Murs)